yrDJooVjUUVjPPmgydgdYJNMEAXQXw13gYAIRnOQ
Bookmark

72 Tahun Kemerdekaan dan Hilangnya Nurani Kebangsaan


Suasana upacara bendera puluhan santri di laut Kamis (17/8/2017)

Suasana upacara bendera puluhan santri di laut Kamis (17/8/2017)


KOMPAS.com - Perjalanan bangsa ini sudah cukup panjang, bahkan jauh sebelum tahun 1945. Flag off ekspedisi kebangsaan kita, bisa jadi, sudah diawali oleh Mahapatih Gadjah Mada yang dengan Sumpah Palapa bercita-cita menyatukan Nusantara.
Gadjah Mada memang tidak menggunakan nama Indonesia. Tapi, jiwa kebangsaan sudah diusungnya dengan kata Nusantara.
Lalu, gelombang kedua ekspedisi berlanjut pada 1908, yaitu saat para pelajar Stovia dengan lantang menyerukan bahwa perjuangan fisik harus disertai dengan perjuangan pemikiran.
Pada momentum itu Budi Oetomo lahir dengan tag line kebangkitan nasional yang berlandaskan budi yang utama, yakni nilai-nilai, perilaku dan budi pekerti.
Dus, Semua ekspedisi tersebut kemudian dirangkum oleh Soekarno dan Hatta dalam naskah proklamasi. Proklamasi menjadi jangkar bagi semua ekspedisi ratusan tahun sebelumnya  dan menjadi titik tolak perjalanan bangsa ke depannya, di tanah harapan bernama NKRI.  

Mengapa Proklamasi?
Hanya 29 kata yang ada dalam teks proklamasi. Namun, 29 kata tersebut sangat powerfull menyiratkan sebuah determinasi, keberanian, kecermatan, dan ketaktisan.

Keberanian menyatakan kedaulatan bukanlah hal mudah. Namun, itulah yang dilakukan oleh para bapak bangsa yang lugas tanpa bertele-tele.
Itulah kiranya resultante dan titik kulminasi perjuangan dan pengorbanan selama ratusan tahun. Bisa dikatakan, 29 kata tersebut telah membangkitkan kesadaran bahwa inilah saatnya kita menentukan nasib dan langkah kita sendiri secara bersama-sama. Inilah kesadaran berbangsa.
Ratusan warga membentangkan bendera Merah Putih sepanjang 72 meter di Pegunungan Matantimali Desa Wayu, Kinovaro, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (17/8/2017). Pembentangan bendera yang dilaksanakan oleh Komunitas Patroli Kota Palu itu dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme sekaligus memperingati HUT ke-72 RI.
Ratusan warga membentangkan bendera Merah Putih sepanjang 72 meter di Pegunungan Matantimali Desa Wayu, Kinovaro, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (17/8/2017). Pembentangan bendera yang dilaksanakan oleh Komunitas Patroli Kota Palu itu dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme sekaligus memperingati HUT ke-72 RI. (ANTARA FOTO/ BASRI MARZUKI)
Lalu, mengapa Soekarno dan Hatta memilih kata 'proklamasi'?
Amerika Serikat menggunakan kata Declaration of Independence. Pun, Malaysia memakai istilah deklarasi pada saat handover dari Inggris.
Dalam bahasa latin, kata proclamare mengandung makna 'teriakan keras". Di dalamnya terdapat unsur gairah, agresifitas, dan semangat, tidak seperti deklarasi yang lebih bermakna sebuah pernyataan.

Proklamasi yang dilakukan duet "founding fathers" itu adalah jawaban dari hasrat dan jeritan ratusan tahun dari Aceh sampai Banda Neira. Proklamasi menyatukan hasrat merdeka dari Cut Nya Dien, hasrat kebebasan Kartini, dan hasrat mendobrak para pemuda di Kramat Raya 106 pada 28 Oktober 1928. Proklamasi adalah bersatu padunya jiwa dan raga bangsa ini.

Nurani kebangsaan
Namun, setelah 72 tahun, mari kita tafakur sejenak. Berapa banyak rakyat yang masih dizolimi oleh keadilan? Berapa banyak anak muda yang mati bukan di medan pertempuran dengan di merah putih di dada, namun mati sia-sia dengan suntikan di tangan?

Tidakkah hati kita hancur mengetahui bahwa tingkat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di Indonesia sudah sangat memilukan? Bahkan, Indonesia ditasbihkan sebagai negara teratas dalam urusan transaksi narkotika di kawasan ASEAN (sumber: Badan Narkotika Nasional, 2015).

Maka, mari kita berdiam diri dan bertafakur. Betapa rindunya kita kepada kepada Bung Hatta, yang terpaksa hanya makan roti keras bercampur keju di penjara di negeri penjajah, namun dengan gigih dia tetap menulis pledoi vrij Indonesie dan mengirim pesan kebangsaan ke Tanah air. Di sisi lain, mirisnya, kini kita melihat para badut politik sibuk mencari panggung di berbagai media.

Betapa rindunya kita kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sang panglima tentara nasional, yang dengan napas tersengal akibat panyakit parunya, harus ditandu ke luar masuk hutan untuk memimpin gerilya paling patriotik dalam sejarah negeri ini. Sementara kini, kini kita disuguhkan tontonan segala kepongahan para pemimpin dan wakil rakyat di berbagai media, yang dengan sadar membohongi sekaligus membodohi rakyatnya.

Tidak rindukah kita dengan sosok Mar’ie Muhammad dan Baharudin Lopa, terutama ketika kita menyaksikan makin banyaknya pejabat negara yang memakai "rompi oranye" dengan tetap tersenyum keluar-masuk gedung KPK?
Tak rindukah kita, ketika saat ini kejujuran justru dianggap suatu kenaifan, dan sebaliknya kebohongan serta kecurangan adalah suatu keniscayaan?
Betapa rindunya kita kepada Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra yang dengan rupa dan kulit berbeda melantangkan Sumpah Pemuda yang menggelegar itu, ketika kini kita lebih sering mendengar hujatan dan cercaan penuh kebencian kepada sesama pemuda.

Betapa rindunya kita kepada Sutan Syahrir, sang demokrat sejati, yang rela tersingkirkan, sementara kini dengan miris kita melihat negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini menggadaikan demokrasi di lobi-lobi politik dan forum-forum kepentingan.

Mari kita bertafakur! Mengapa kini kita lebih senang untuk saling tuding dan hujat, saling curiga, saling menghakimi, dan saling hantam? Ke mana perginya nilai-nilai musyawarah dan mufakat, di mana nilai-nilai tepa salira, apa kabar prinsip rawe rawe rantas malang-malang putung, dan ke mana larinya semangat Ampera yang dulu menggetarkan itu, ke mana perginya ikrar kebhinekaan, ke mana semangat juang ala arek-arek Suroboyo, ke mana teriakan merdeka ataoe mati?
Mari kita diam dan bertafakur. Mengapa kini kita menjadi bangsa yang pucat, kering kerontang, kurang gizi, seperti tidak berjiwa? Kaya raga, namun miskin jiwa. Kita bukan hanya kehilangan jiwa kebangsaan, tapi juga sudah kehilangan nurani kebangsaan! Inilah kita sekarang...

Nurani "generasi emas"
Semua bangsa dijalankan oleh-Nya. Seperti halnya Nabi Ibrahim dan Musa yang menuju tanah harapan, kita pun "diperjalankan" oleh yang Maha Kuasa. Telah sampaikah kita kepada tanah yang dijanjikan itu?
Dalam setiap pendakian ke puncak gunung , sebaiknya kita tidak perlu membawa bekal yang terlalu banyak, cukup air putih, pisang dan sebatang coklat. Tak perlu membawa kepentingan golongan, ras dan agama. Kita hanya perlu membawa amanat penderitaan rakyat, Pancasila dan semangat kebangsaan.
Ya, di dalamnya sudah terdapat nutrisi lengkap yang akan membawa kita berlari dan melesat menuju puncak, dan menancapkan bendera sebagai menjadi bangsa yang sejahtera, unggul dan bermartabat.

Kini, 28 tahun menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, ada baiknya kita pupuk dan hidupkan lagi nurani kebangsaan sebagai bekal yang dulu diberikan oleh nenek moyang kita kepada jiwa generasi penerusnya. Karena merekalah yang akan duduk di cokpit pesawat pada tahun emas kita.
Tanpa itu, puncak bonus demografi di 2030 dengan kurang lebih 70 juta jumlah penduduk produktif hanya akan menjadi mannequin cantik dengan make up tebal dan senyum artifisial, namun "mati"! Kita akan menjadi bangsa yang kering kerontang, dan terengah-engah mencapai cita-cita proklamasi yang semakin kabur dari pandangan.
Itulah karenanya, pendidikan menjadi sentral, bukan hanya pendidikan berbasis kognitif, namun juga pendidikan kebangsaan. Pendidikan yang dapat membangkitkan, menanamkan, menginfiltrasikan rasa, kecintaan dan kebanggaan pada negeri.

Pendidikan kita bukanlah pendidikan yang tidak mematikan nurani. Pendidikan yang  mengedepankan nilai, bukan yang hanya pendidikan mengejar keberhasilan fisik dan materi.
Pendidikan yang memastikan bahwa tolak ukur keberhasilannya bukan hanya dari jumlah sarjana, atau doktor. Keberhasilannya adalah jika suatu saat Komisi Anti-Korupsi dibubarkan, karena negara ini tidak membutuhkannya lagi, jika kita telah berdaulat penuh terhadap ikan-ikan di lautan kita dan berdaulat penuh terhadap garis pantai terpanjang di dunia yang kita miliki, jika Tanjung Priok dapat menjadi pelabuhan terbesar, termodern dan terefisien di dunia,mengalahkan Rotterdam dan Singapura.
Kita butuh pendidikan yang memastikan bahwa di setiap jiwa anak didiknya terdengar sayup namun pasti, suara kecil yang berbisik: Indonesia!

Selamat memaknai Hari Kemerdekaan. Dirgahayu Nusantara, Dirgahayu Indonesia!

http://edukasi.kompas.com/read/2017/08/17/11351361/72-tahun-kemerdekaan-dan-hilangnya-nurani-kebangsaan

Pemerhati pendidikan
Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 
Post a Comment

Post a Comment